Friday, December 29, 2017

“Rindu Kedua”

“Sudah pulanglah kepada yang pasti” ucap Lia dengan menunduk dan setengah menahan nafas, “ aku sudah terbiasa menangkup rinduku sendiri”. Sementara diujung bangku hitam panjang, Arga tetap tak merubah tatapan tajamnya sambil menggenggam jari-jari lentik yang kian lesu tanpa tenaga. Ekspresinya tak berubah meski mendengar ucapan lembut Lia  untuk mengakhiri kisah mereka. Tak sedikitpun kata yang keluar dari bibir tipis lelaki tampan itu.
Gambar perempuan yang berparas sederhana tanpa riasan ditatapnya dalam, seolah ingin dia telan dalam ingatannya agar menetap di memori otak kecilnya. Arga tak mungkin  menyimpan gambar mereka dalam memory telepon genggamnya. Sebisa mungkin dia untuk tidak menyakiti Fai yang telah menyerahkan sebagian hidupnya untuk menjadi pendamping suka dukanya. Pertentangan batin kian menyiksanya saat bayangan Lia masih menjadi hantu disetiap pandangannya. Arga tak pernah memahami  mengapa Tuhan harus menghadirkan rindu kedua untuknya. Seharusnya pertemuan dengan Lia hanya untuk masalah bisnis saja. Tapi mengapa justru membuka misteri kisah lama yang belum mampu mereka tuntaskan, meski sadar tak mungkin lagi untuk saling memiliki.
Arga mengerjap saat mendapat sambutan dan pelukan  mesra dari Fay saat dia memasuki ruang makan  yang sengaja dihias dengan istimewa. “Happy Unyversary dear”, bisikan penuh cinta Fai seolah meluruhkan semua pertentangan batinnya. Kecupan hangat di kening Fai saat itu adalah ungkapan  permohonan maaf yang tedalam dari seorang laki-laki yang menyimpan rindu kedua di hatinya.

Tuesday, December 26, 2017

“Lembaran Jingga untuk Riana ”


Senja yang menggelayutkan warna merah pada langit sore itu, mengatar senyum Riana saat menerima sepucuk surat berwarna jingga dari tangan ayahnya. Surat yang membuat wajahnya basah dan merona. Tiga kalimat yang tak terlupa dari goresan pada kertas jingga, yang merubah sejarah hidupnya.
“ Hai bidadari pengisi relung hati, kuberanikan diri membuat permohonan pada Illahi untuk menuntun jemariku menuliskan lembar ta’aruf ini kepadamu. Karena selama ini ku hanya mampu menyapa namamu dalam do'a di setiap akhir sujudku. Bilakah kau mau menjadi pengantar pintu surgaku, akan kuucapkan ijab kabul di hadapan ayahandamu.” kalimat santun itu kembali menggetarkan hati perempuan muda itu. Setelah sepuluh tahun lalu malam pertama pernikahannya, berakhir menjadi malam paling memilukan dalam hidupnya. Saat dia harus merelakan lelaki yang telah mengucapkan janji suci dan menyentuhnya penuh dengan kelembutan kembali mengahadap Sang Pemilik cinta.

Senja berikutnya, wajah Riana kembali membasah. Dia menerima lembar surat yang kedua dari laki-laki yang meminta dia menjadi bidadari penghuni surga cintanya. Sang Maha Cinta telah menganugrahkan pintu surga kedua  untuknya dengan laki-laki yang hanya dia kenal lewat lembaran berwarna jingga dari sang ayah. Dan surat yang kali ini ada digenggamannya bertuliskan “Surat Nikah”.